Garda Keadilan - Polemik terkait penguasaan lahan oleh asing mengemuka menyusul serangan Ketua Majelis Kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais terhadap kebijakan bagi-bagi sertipikat yang dilakukan Presiden Jokowi. Amien menilai, program bagi-bagi sertipikat tanah sebagai bentuk pembohongan yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat kecil. "Waspada bagi-bagi sertipikat, bagi tanah sekian hektare, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?" kata Amien.
Pernyataan eks ketua MPR itu pun mendapat reaksi keras dari Menteri Koordinator Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut mengancam akan mencari dosa-dosa, orang-orang yang kerap mengkritik pemerintah tanpa disertai data. Dari sinilah polemik terkait pemilikan lahan di Indonesia mengemuka. Sebenarnya berapa besar sih lahan kita yang dikuasai asingatau kelompok tertentu? Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) beberapa waktu lalu pernah melakukan kajian terkait penguasaan lahan di Tanah Air. Berikut penuturan Direktur Eksekutif Nasional Walhi Yaya Nur Hidayati kepada Rakyat Merdeka.
Apa betul 74 persen lahan kita dikuasai kelompok tertentu?
Iya. Berdasarkan data Walhi lahan itu banyak dikuasai oleh korporasi. Sebagian besar wilayah kita memang sudah di-kavling-kavling untuk korporasi. Kalau menurut penelitian Walhi itu yang dikuasai oleh korporasi adalah sebesar 82 persen, atau sekitar 159 juta hektare yang sudah diberikan konsensi untuk korporasi.
Lahan yang dikuasai itu dimanfaatkan dalam bidang apa saja oleh mereka?
Sebagian besar adalah untuk korporasi di sektor kehutanan, perkebunan, serta pertambangan. Itu sebagian besar menguasai wilayah kita. Nah, itu termasuk korporasi asing dan domestik. Jadi kurang tepat juga kalau dianggap lahan kita dikuasai asing. Yang sebenarnya adalah dikuasai oleh korporasi, tapi entitasnya bercampur antara domestik dengan asing. Tapi bahwa terjadi ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam itu memang benar terjadi.
Korporasi yang paling banyak menguasai lahan itu kebanyakan korporasi asing atau lokal?
Kami belum cek terlalu jauh ya. Tapi memang kalau kita cek, misalnya perkebunan kelapa sawit itu memang banyak juga yang dikuasai asing. Kebun-kebun sawit kita itu perusahaannya banyak dikontrol dari luar negeri. Begitu juga dengan pertambangan. Kami belum cek persentasenya, tapi banyak juga yang dikuasai oleh asing. Tapi sekali lagi, ketimpangan kepemilikan antara rakyat dengan korporasi memang terjadi.
Daerah mana saja yang lahannya banyak dikuasai korporasi itu?
Di seluruh Indonesia seperti itu. Tapi terutama memang di luar Jawa ya. Karena dia paling banyak untuk sektor perkebunan.
Penguasaannya itu sekadar HGU atau sudah jadi hak milik?
Kalau penguasaan korporasi itu bisa lewat perizinan konsesi, atau HGU (Hak Guna Usaha) yang memang bisa sampai 90 tahun. Kalau di pertambangan itu kontrak karya IUT (Izin Usaha Tambang), atau PKB2B.
Jadi memang sebagian besar wilayah sudah di-kavling-kavling. Tapi ini sebenarnya bukan fenomena baru. Ini sudah terjadi sejak Orde Baru. Jadi memang dulu pengelolaan sumber daya alam itu diserahkan oleh negara kepada korporasi, dan itu yang sampai sekarang masih terjadi.
Sejauh ini apakah lahan yang dikuasai korporasi itu berubah menjadi hak milik?
Kalau untuk korporasi asingkan pasti enggak bisa ya jadi hak milik. Dia cuma bisa HGU, terutama untuk perkebunan dan sumber daya alam. Tapi memang meski tetap akan habis, HGU jangka waktunya cukup lama, dimana berdasarkan undang-undang bisa sampai 90 tahun. Contohnya kontrak karya Freeport yang sudah puluhan tahun
Menurut pantauan Walhi, kenapa lahan kita bisa lebih banyak yang dikuasai oleh korporasi?
Itu awalnya karena model pembangunan zaman Soeharto, yang menerapkan trickle down effect. Mereka mengharapkan bisnis besar bisa mendorong perekonomian. Tapi kenyataannya model seperti itu gagal memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Yang terjadi malah korporasinya yang semakin kaya. Masyarakat justru semakin termarginal, dan tidak mendapatkan keuntungan dari korporasi. Ini memang harusnya diubah oleh pemerintah. Harus ada pemerataan. Jadi penguasaan total itu tidak boleh lagi diberikan kepada korporasi. Bahkan, korporasi yang ada sekarang, yang HGU-nya mau habis jangan diperpanjang. Setelah habis dia harus diredistribusi lagi kepada rakyat. Karena itu adalah amanat Undang-Undang Reformasi Agraria. Tapi sampai saat ini belum terjadi.
Praktik penguasaan lahan oleh korporasi itu kan terjadi di era Soeharto. Nah setelah reformasi apakah tidak ada perbaikan?
Justru setelah reformasi, setelah Indonesia masuk perangkapnya IMF itu justru semakin parah. Resepnya mereka kan liberalisasi ekonomi dan privatisasi. Makanya, dengan dorongan IMF ini unit-unit usaha negara yang menguasai hajat hidup orang banyak itu diprivatisasi. Misalnya privatisasi perusahaan air, lalu penjualan aset BUMN. Itu sebetulnya dampak dari utang kita kepada IMF. Akibatnya liberalisasi semakin besar, peran negara dikurangi, sementara peran swasta diperluas. Dan itu berujung kepada penguasaan melalui berbagai perizinan.
Di era Presiden SBY apakah masalah itu tidak diperbaiki juga?
Di era SBY masalah ini masih terus terjadi. Pemberian konsensi kepada korporasi masih terus berjalan. Bahkan sampai sekarang juga masih terjadi. Tapi kalau kita lihat, sekarang untuk sumber daya alam itu agak berkurang. Sejak periode akhir SBY dia memang memberlakukan moratorium pemberian izin baru di sektor perhutanan. Jadi di zaman Jokowi ini memang relatif tidak terlalu banyak lagi izin-izin di hutan. Hal itu juga tidak lepas dari adanya komitmen Indonesia untuk menurunlan emisi yang mengakibatkan perubahan iklim. Moratorium itu ditandatangani 2011 oleh SBY, dan itu dilanjutkan terus di periode Jokowi. Jadi tidak ada lagi izin-izin di hutan alam dan hutan gambut.
Kalau berdasarkan pantauan Walhi, ada korporasi yang HGU-nya mau habis tapi akan diperpanjang pemerintah enggak?
Pasti ada. Tapi problemnya informasi soal HGU itu tidak pernah dibuka kepada publik. Karena informasinya dirahasiakan, akibatnya di beberapa tempat seperti daerah transmigrasi, di mana masyarakat harusnya mendapat sertipikat hak atas tanah, justru tidak mendapatkannya dan tahu-tahu sertipikatnya sudah jadi HGU dari BPN. Proses pemberian HGU di BPN ini tidak pernah transparan, perusahaan yang diberi HGU tidak pernah dibuka oleh mereka. Makanya kami suka tidak tahu mana yang masih lama, dan mana yang sudah mau habis. Harusnya yang sudah habis itu dikembalikan kepada negara, dan negara memberikannya kepada rakyat. Tapi yang sering kali terjadi itu HGU habis, tapi diberikan kepada perusahaan lain. Akibatnya penguasaan terus terjadi, dan hal ini juga kerap jadi penyebab timbulnya konflik. Karena dulu ketika proses mau memberikan HGU masyarakatnya tidak diberitahu. Tahu-tahu wilayah mereka sudah jadi haknya perusahaan, sehingga mereka harus diusir di mana pengusirannya sering menggunakan aparat.
Kalau menurut Walhi kenapa pemberian HGU rahasia begitu?
Ya kami enggak tahu juga kenapa pastinya. Tapi dugaannya bisa saja ada deal-deal tertentu, sehingga harus dirahasiakan. Ini memang hal yang penting untuk diselidiki, kenapa HGU itu bisa keluar tanpa masyarakat tahu, tanpa ada proses yang transparan. Di Indonesia peta-peta HGU itu tidak terbuka bagi publik. Sangat sulit bagi masyarakat untuk mengaksesnya. Kondisi seperti ini biasanya yang membuka peluang bagi aparat untuk korupsi.
Saran dari Walhi terkait masalah ini?
Saran dari kami memang pemerintah harus segera melakukan reformasi agraria yang benar. Khususnya untuk di wilayah-wilayah yang izinnya tumpang tindih. Rakyat harus mendapatkan haknya kembali. Harus ada pengurangan lahan yang dikuasai oleh korporasi, mengingat kondisinya yang terlalu jomplang. Banyak warga negara kita yang tidak punya tanah. Harusnya mereka yang berhak untuk menguasainya, bukan malah segelintir orang. Di pemerintahan Jokowi sekarang justru sangat mudah mendapat izin untuk investasi. Tapi kalau buat warga pribadi justru malah sulit, dan berbelit-belit. Ini yang harus diperbaiki. Revolusi mental harusnya dimulai dari sini, bukan privat sector yang sejak dulu sudah diperlakukan sebagai anak emas. Kalau pemerintah memang pro kepada rakyat, harusnya memang rakyat yang diutamakan.
Tapi kalau begitu bukannya bisa menghambat investasi?
Ini memang yang menjadi kontradiksi ya. Kalau lihat nawacita katanya presiden sangat pro kerakyatan. Tapi di sisi lain dia memberikan peluang yang lebih besar untuk investasi, daripada masyarakat sendiri. Dia seolah tidak percaya dengan kekuatan rakyat. Padahal kalau dari pengalaman kami banyak ekonomi rakyat yang berhasil.
Sumber: rmol