Hadiah Untuk Anak Tersayang

Hadiah Untuk Anak Tersayang

Hadiah Untuk Anak Tersayang


Semua anak tentu senang menerima hadiah. Tapi orang tua perlu tahu konsekuensinya agar hadiah itu tidak merusak anak. Sebenarnya, pemberian hadiah dapat dijadikan alat mendidik. Sayangnya, seringkali orang tua memakai hadiah sebagai penggambaran kasih sayang.

Aduh, bagus amat sih mainan ini, kata Santi dalam hati. Dibeli nggak, ya? Setelah bertanya dan menjawab sendiri berulang-ulang, akhirnya diangkatnya juga ke meja kasir. Mainan itu untuk Ruli, anaknya yang berusia lima tahun. Hal serupa bukan baru sekali ini saja terjadi. Sebagai pegawai baru yang pernah merasakan sulitnya mencari pekerjaan, pengeluaran uang diperhitungkannya secermat mungkin. "Ternyata berhemat itu tidak mudah. Apalagi sebegitu banyak barang yang menggoda iman terpajang ditoko-toko," akunya suatu kali.

Aris, sang suami juga sudah sering mengingatkan istrinya untuk mengerem kebiasaan membelikan berbagai mainan untuk Ruli. Selain hal itu merupakan pemborosan, Aris juga khawatir akan akibat buruknya bagi Ruli. Santi selalu membela diri, katanya, "Kasihan sekali kalau saya pulang tidak membawa oleh-oleh." Santi tidak yakin terhadap kekhawatiran suaminya. Apa benar hadiah-hadiah itu dapat membuat Ruli menjadi materialistis, lebih menghargai barang daripada hubungan antar manusia ataupun hal-hal lain yang lebih tinggi nilainya? Apakah benar bila lemari mainan Ruli dijejali terus dengan mobil-mobilan, robot-robotan, game-watch, atau mainan lain yang kini sedang in itu, Ruli akan menjadi anak yang serakah, boros dan sulit terpuaskan?

Banyak orang tua lain juga sama bingungnya seperti Santi. Ada niat membahagiakan si kecil, tapi kok bahaya yang membayanginya begitu seram. "Wah, dosa juga saya, kalau nanti Ruli malah menjadi orang dewasa yang tidak siap menghadapi kehidupan yang keras ini," pikir Santi akhirnya.

Para pengamat di bidang pendidikan mengatakan bahwa pemberian hadiah itu sebenarnya dapat dijadikan alat mendidik, asalkan orang tua berlaku bijaksana dan waspada akan beberapa hal.

Bukan pengganti kasih sayang


"Tidak ada salahnya anak menginginkan atau memiliki barang-barang," tegas Sara Hoppe, seorang psikolog dari Minneapolis, Amerika Serikat. "Masalahnya, seringkali orang tua memakai hadiah sebagai pengganti perhatian dan kasih sayang yang tidak sempat dicurahkannya kepada si kecil," Bagi beberapa orang tua, cara itu dianggap lebih praktis daripada harus menyisihkan waktu untuk menjalin komunikasi dengan anak.

Celakanya, banyak orang tua mulai gencar membanjiri anaknya dengan hadiah sejak si anak masih bayi. Padahal si anak saat itu justru sangat membutuhkan perhatian emosional. Akibatnya, anak belajar untuk menghubungkan antara pemberian hadiah dengan kasih sayang.

Agar anak tidak terlanjur memiliki presepsi yang kurang tepat ini, Hoppe menganjurkan agar orang tua jujur pada diri sendiri. Sebelum membeli mainan untuk si kecil, tanyalah diri Anda mengapa mainan itu dibeli? Tidakkah lebih baik kalau Anda 'ngobrol' tentang bagaimana si kecil hari ini menghabiskan waktunya di sekolah, misalnya? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat membantu anda agar selalu menyadari hal terpenting yang seharusnya tidak terlupakan, yaitu bagaimana dan seberapa sering Anda berkomunikasi dengan si kecil.

Bukan sekedar tawar menawar


Anak-anak yang masih sangat kecil akan menerima secara pasif hadiah apapun yang diberi orang tuanya. Tapi, semakin besar, ia akan semakin pandai memilih dan menuntut barang-barang yang sesuai dengan keinginannya. 

Begitu memasuki usia prasekolah, anak mulai terpengaruh oleh tekanan sosialnya, yaitu lingkungan teman-temannya. Anda tak perlu heran bila si kecil minta dibelikan sesuatu hanya dengan alasan "Semua teman-teman punya itu, Ma." Adalah wajar bila anak menginginkan sesuatu yang sedang menjadi 'trend' di antara teman-teman sebayanya. Itu tidak berarti ia serakah atau materialistis; ia hanya ingin menjadi bagian dari kelompoknya. Memiliki barang yang juga dipunyai teman-teman sebayanya. merupakan salah satu cara si kecil untuk menyesuaikan diri dengan temannya.

Arman, usia 7 tahun, suatu kali terlibat dalam argumentasi yang panjang dengan ayahnya. Awalnya, ia minta dibelikan Playstation 4 seperti yang dimiliki Bayu dan Dimas. Mereka bertiga memang teman sepermainan. Sang ayah berkeberatan, "Bukan saja karena harga permainan itu sangat mahal, tapi lebih karena saya tidak yakin akan manfaatnya. Mainan itu kan hanya akan membuat Arman menjadi pasif." Dengan sabar si ayah mengingatkan Arman tentang minat anaknya akan bacaan, akan permainan bongkar-pasangnya, juga akan kebiasaannya bersepeda bersama teman-teman di waktu luang. "Menurut ayah,sayang kalau semua kegiatan itu digantikan oleh video game."

Meskipun tampaknya Arman sudah akan menyerah, sang ayah terdorong untuk tahu alasan Arman lebih jauh. "Kalau Bayu dan Dimas ngobrolin Playstation 4, Arman cuma bisa bengong, Yah. Sekarang Arman sudah ngerti sedikit-sedikit, karena Bayu suka minjamin mainannya. Tapi kan nggak enak, Yah. Lagian, Arman kalau adu main sama teman-teman pasti kalah, soalnya jarang latihan , sih," jelas Arman. Sang ayah akhirnya memahami betapa penting artinya bagi Arman untuk membeli mainan yang sedang in di antara teman-temannya itu. Setelah bicara panjang-lebar, sang ayah setuju membelikan Arman satu set Playstation 4 persis milik Bayu dan Dimas. Selain itu, Arman juga setuju membayar sebagian, dengan cara memotong uang saku bulanannya.

Membicarakan soal keuangan


Pendekatan yang dilakukan ayah Arman, yaitu membicarakan soal permintaan anak dan mencari alternatif pemecahannya secara bersama-sama, jauh lebih penting dari soal dibelikan atau tidaknya barang yang diminta anak. Demikian pendapat Donna Tubach-Davis, direktur eksekutif pada Child Saving Institute di Omaha, Amerika Serikat. Orang tua dapat menggunakan permintaan anak untuk mengajarkan tentang hal apa yang lebih penting dari hal lainnya. Bisa saja orang tua menjawab ya atau tidak, tapi cara ini menghilangkan kesempatan berkomunikasi antara orang tua dan anak. Sebaiknya bangunlah dialog dengan pertanyaan-pertanyaan: Siapa saja yang punya barang itu? Apa yang paling membuatmu tertarik dengan mainan itu? Seberapa banyak manfaatnya untukmu?

"Saya sering amati, Nana tidak benar-benar membutuhkan barang yang dimintanya," kata Nyonya Mike tentang puteri ciliknya. "Kalau saya ajak ke toko, ia pasti menunjuk mainan atau boneka yang memenuhi rak-rak di sana. Saya beritahu harganya dan saya katakan bahwa itu sama dengan harga sekian bungkus gado-gado kesukaannya. Saya tanyakan juga mengapa ia memilih mainan itu. Untuk apa ia beli boneka baru. Cukupkah tabungannya? Lama-lama saya lihat Nana mulai kehilangan minatnya akan barang tersebut dan setuju untuk tidak membeli."

Kalau dalam pembicaraan muncul alasan "semua teman punya", hindari agar Anda jangan sampai menyahut, "Kalau temanmu masuk jurang, apakah kamu pun ingin mengikutinya?" Sebaiknya Anda tanyakan, "bila kamu tidak punya mainan itu, apakah teman-temanmu tidak mau bermain dengan mu lagi? Apakah temanmu itu sering bermain dengan barang tersebut?"

Bagaimana bila keadaan keuangan tidak mengizinkan Anda untuk membelikan barang yang diminta si kecil? Beberapa orang tua enggan membicarakannya dengan si anak, sebab menurut mereka tidak sepantasnya anak dibebani dengan kesulitan yang menjadi tanggung jawab orang tua. Orang tua lain mngkin malahan berkomentar singkat terhadap permintaan anaknya, "Uang kan tidak jatuh dari langit !" Tapi, Marlyn Bardbrad, Kepala Departemen Perkembangan Keluarga dan Anak di Universitas Auburn, Alabama, menegaskan sebenarnya sangatlah beralasan untuk membicarakan masalah keuangan keluarga dengan anak Anda. Pembicaraan tersebut akan menyadarkan anak bahwa manusia memiliki keterbatasan, ada hal-hal yang dapat dan tidak dapat dilakukannya. Itu merupakan satu cara untuk menyiapkan anak menyongsong masa depannya.

Menanamkan nilai-nilai


Bila orang tua berbicara secara terbuka dan terus terang mengenai masalah keuangan keluarga, anak tidak hanya merasa memiliki andil dalam pengambilan keputusan, tapi mereka juga mulai terdorong untuk menabung agar keinginannya akan barang baru terpenuhi. "Saya minta Aryo untuk membayar separuh dari harga stiker yang ingin ia beli untuk melengkapi koleksinya. Ia setuju mencari tambahan uang saku dengan membantu saya memotong rumput setiap hari minggu," cerita Nyonya Rani.

Ketika anak mulai merengek dibelikan sesuatu, bukan hanya nilai rupiah dari barang-barang itu yang perlu Anda tanamkan pada si kecil. Ketika ayah Arman berbicara tentang Playstation 4 dengan Arman, ia ingin anaknya itu mengerti bahwa ayah dan ibu lebih menghargai permainan-permainan yang merangsang aktivitas, kreativitas dan imajinasi daripada permainan yang cuma merangsang respon pasif anak. Secara tidak langsung sang ayah juga menekankan pada anaknya juga tentang perlunya menghargai sesuatu yang menjadi miliknya. "Saya ingin Arman tahu bahwa bial ia mampu membeli suatu barang, ia pun harus mampu memeliharanya, " kata sang ayah.

Beberapa orang tua lain juga ingin anak-anaknya tahu bahwa memberi sesuatu kepada orang lain sama bahagianya seperti menerima. "Saya seringkali menyuruh Gia memilih T-shirt lainnya setiap kali ia membeli yang baru. Maksudnya, untuk diberikan kepada Dona, sepupunya. Lalu, bersama saya ia akan membungkusnya dengan bungkus kado pilihannya dan menyertakan kartu ucapan "selamat memakai" made-in Gia," cerita seorang ibu.

Seberapa banyak anak pantas menerima hadiah hanyalah merupakan salah satu pertanyaan saja. Orang tua hendaknya menanyakan juga pada diri sendiri seberapa besar andilnya dalam memupuk kegilaan anak akan barang-barang. Sebaliknya, adalah wajar bila anak memiliki keinginan, sehingga orang tua tidak perlu membuat mereka merasa bersalah. Melalui diskusi tentang apa dan mengapanya si kecil menginginkan barang tertentu, serta bagaimana menyesuaikan antara keinginan anak dengan keterbatasan keuangan maupun nilai-nilai yang dianut keluarga, Anda akan lebih mudah memahami kebutuhan-kebutuhan anak yang terdalam.

Hadiah Untuk Anak Tersayang