MENGAPA WANITA DILARANG MEMIMPIN

Tak Ada Larangan Wanita Berkarir

Sebelum membahas bagaimana syariat mengatur boleh tidaknya pemimpin wanita dalam suatu negara, terlebih dahulu perlu dikaji lebih mendasar. Sejauh mana ISlam memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada laki-laki dan perempuan.

Syariat memberikan kebebasan hak dan kewajiban kepada perempuan sebagaimana kepada laki-laki, kecuali yang dikhususkan untuk perempuan (boleh meninggalkan shalat karena haid, nifas dan yang lainnya), atau laki-laki berdasarkan nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah. Tetapi pengkhususan yang ada haruslah pada perkara yang dijelaskan oleh nash dan tidak melampaui batas.

Pengkhususan tidak dibolehkannya kaum wanita menjadi pemimpin hanyalah dalam konteks kekuasaan (kekhilafahan), tidak mencakup di luar kekuasaan lainnya seperti peradilan (qadha), organisasi atau lembaga. Dengan demikian tidak ada larangan kaum perempuan beraktifitas, berkarya dan berkarir dalam aspek perdangan, pertanian, dan perindustrian sebagaimana laki-laki. Termasuk pula melakukan kegiatan pendidikan, berjihad, politik, serta melakukan segala aktivitas seperti halnya laki-laki, sebab syariat adalah untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah As Dustur, halaman 255-257)

Sebagai Kepala Negara

Jumhur ulama mengharamkan, salah satunya Imam Qurthubiy dalam tafsirnya Al-Jaami' Li Ahkam Al Qur'an, Juz I halaman 270 yang menyatakan bahwa : " Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita menjadi qadhi (hakim) berdasarkan diterimanya kesaksian wanita dalam pengadilan."

Hujjah paling jelas adalah sabda Rasullullah SAW yang tidak dipersoalkan keshahihannya dari pakar hadits : "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada waniata," (HR. Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa'i)

Alasan Larangan Menjadi Khilafah

Kenapa dalam Islam perempuan tidak boleh menjadi Khilafah (Pemimpin Negara), karena pada hakekatnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki yang sifatnya lemah. Lalu apa jadinya jika si lemah memimpin oran-orang kuat (lelaki), maka pola dan cara memimpinnya pun akan tidak optimal, bahkan dikalahkan sendiri oleh yang dipimpin.

Alasan kedua, berdasarkan kesepakatan ulama karena pemimpin negara haruslah memimpin jihad, menyelesaikan urusan kaum muslimin. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak diperkenankan berhias (keluar rumah), lemah, tidak mampu menyelesaikan setiap urusan karena mereka kurang (akal dan agamnya, maksudnya dengan kurang agamnya adalah yaitu ketika wanita tersebut dalam kondisi haidh dan nifas, dia pun meninggalkan shalat dan puasa, juga dia tidak mengqodho shalatnya, seperti sabda Rasullullah SAW," Bukankah ketika seorang wanita mengalami haidh, dia tidak dapat melaksanakan shalat dan tidak dapat berpuasa ?" (HR . Bukhari dan Muslim).
Kepemimpinan dan masalah memutuskan suatu perkara adalah tanggung jawab yang begitu berat, oleh karena itu yang menyelesaikannya adalah orang yang tidak memiliki kekurangan (seperti wanita) yaitu kaum pria.

Alasan ke tiga karena wanita ketika shalat berjamaah menduduki shaf paling belakang, sebagaimana dalam sabda Rasullullah SAW :' Sebaik-baik shaf untuk wanita adalah paling belakang sedangkan paling jeleknya adalah paling depan," (HR. Muslim).
Padahal seorang kepala negara harus di depan rakyatnya, bukankah merepotkan ?