BERITA-VIRAL.COM - Jasriadi, orang yang disebut aparat kepolisian sebagai ketua sindikat pengujar kebencian Saracen, akhirnya menerima vonis 10 bulan penjara. Namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Jum’at (6/4/2018) memvonis Jasriadi bukan karena ujaran kebencian. Pria kelahiran 28 Agustus 1985 ini divonis bersalah karena dianggap melakukan akses ilegal ke akun Facebook Sri Rahayu Ningsih, wanita yang oleh polisi disebut sebagai koordinator wilayah Saracen.
Abdullah Alkatiri, salah seorang penasihat hukum Jasriadi, mengatakan selama proses persidangan, tidak ada satu pun bukti yang mendukung tuduhan polisi dan dakwaan jaksa kepada kliennya. Bahkan tuduhan bahwa Jasriadi menerima uang ratusan juta untuk menjalankan proyek Saracen dibantah majelis hakim.
“Di persidangan jaksa, penasihat hukum, dan hakim tidak menemukan [bukti ujaran kebencian dan Saracen,” kata Alkatiri saat dihubungi Tirto, Sabtu (7/4).
Alkatiri mengatakan tidak terbuktinya Jasriadi terlibat ujaran kebencian dan kelompok Saracen tercermin dari pertimbangan yang disampaikan majelis hakim sebelum vonis dibacakan. Hakim mengatakan Jasriadi hanya terbukti melakukan akses ilegal ke akun Facebook milik Sri Rahayu. Itu pun menurut Alkatiri masih sarat kejanggalan.
Alkatiri mengatakan tuduhan bahwa Jasriadi melakukan akses ilegal sangat tidak beralasan. Sebab Jasriadi melakukannya dengan izin Sri Rahayu selaku pemilik akun. Ia menduga hakim terpaksa memvonis Jasriadi karena khawatir Jasriadi akan menyerang balik aparat yang telah mencemarkan namanya.
“Karena apa? beban moral buat hakim kalau membebaskan pasti ada serangan balik dari jasriadi,” ujarnya.
Alkatiri memahami langkah banding yang diajukan Jasriadi. Ia mengatakan secara psikologis Jasriadi berkepentingan membersihkan namanya yang kadung tercemar oleh ucapan-ucapan polisi di media massa dan dakwaan jaksa di ruang sidang.
“Sudah dipermalukan nasional kemudian dia dipenjara makanya dia katakan: ‘Kalau saya terima putusan ini berarti saya dianggap bersalah, faktanya saya tidak bersalah’,” kata Alkatiri menirukan ucapan Jasriadi.
Kasus Asma Dewi
Jasriadi bukan satu-satunya orang yang namanya kadung dicemarkan oleh tuduhan yang gagal dibuktikan di persidangan. Sebelumnya ada nama Asma Dewi, perempuan yang disebut-sebut sebagai bendahara Saracen ini disebut polisi telah melakukan ujaran kebencian sebagaimana dilarang dalam Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 ayat 2 UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yang telah diubah dengan UU RI Nomor 19 Tahun 2016.
Polisi juga menyebut Asma pernah mentransfer uang Rp75 juta untuk Saracen. Namun, seperti halnya Jasriadi, tuduhan polisi tidak bisa dibuktikan di pengadilan. Bahkan uang Rp75 juta yang diucapkan polisi berulang-ulang ke awak media juga tidak masuk dalam lembar dakwaan jaksa.
Meski begitu Asma Dewi tetap dijatuhi hukuman 5 bulan 15 hari penjara oleh pengadilan. Bukan lantaran mengujarkan kebecian -seperti dikatakan aparat kepolisian-, tapi lantaran ia dianggap melakukan penghinaan kepada penguasa sebagaimana diatur dalam Pasal 207 KUHP.
Sayangnya polisi enggan menanggapi serius putusan hakim yang tidak sejalan dengan klaim mereka. Polisi berdalil putusan persidangan sepenuhnya menjadi kewenangan majelis hakim.
“Mas, untuk maklum bahwa Polri melakukan penyidikan. Soal putusan hakim, adalah kewenangan hakim,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Pol Martinus Sitompul saat dihubungi Tirto, Sabtu.
Kualitas Aparat dan Unsur Politis
Dosen dan ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar mengatakan Jasriadi bisa saja menuntut balik aparat kepolisian yang telah menudingnya sebagai bagian dari kelompok penyebar kebencian Saracen. Namun hal ini bisa dilakukan apabila banding Jasriadi diterima dan ia mendapat putusan hukum yang bersifat final.
“Upaya hukum bisa dilakukan yaitu banding. Jika seluruh proses hukum sudah dilakukan termasuk kasasi dan putusannya dinyatakan bebas sebagai terdakwa Saracen, baru kemudian Mantan Terdakwa Saracen bisa menuntut ganti rugi bahkan terhadap kerugian kerugian lain yang timbul selama proses perkara,” kata Fickar saat dihubungi Tirto, Sabtu.
Fickar menjelaskan dakwaan bisa disusun dalam berbagai bentuk seperti dakwaan tunggal yang terdiri dari satu pasal, dakwaan alternatif terdiri dari sejumlah pasal namun hanya dipilih satu yang memenuhi unsur pembuktian, dakwaan kumulatif yakni penggabungan beberapa dakwaan, dakwaan primer subsider dan lebih subsidair ini yang mirip dengan dakwaan alternatif dari pasal dengan ancaman hukuman terberat sampai yang teringan, kemudian dakwaan gabungan dari dua dakwaan yang ada. Oleh sebab itu, meskipun Jasriadi tidak dipidana dalam dakwaan ujaran kebencian, namun ia bisa saja divonis bersalah lewat dakwaan lain.
“Jadi sangat mungkin dakwaannya kumulatif, tapi yang terbukti hanya satu saja yang kemudian menjadi dasar penghukuman, yaitu perbuatan mengakses akun orang lain. sedangkan perbuatan perbuatan menyebar hoax tidak terbukti,” kata Fickar.
Fickar menerangkan, kegagalan membuktikan Jasriadi mengujarkan kebencian membuktikan rendahnya kualitas aparat yang menangani perkara ini. Ia menilai kasus Jasriadi sarat muatan politik.
“Inilah contoh penanganan perkara hukum dengan pendekatan politik, yang pasti akan sangat merugikan korbannya. Karena itu diharapkan penegak hukum untuk berhati hati dalam menangani perkara perkara yang bersentuhan dengan politik, ketidakberhasilan membuktikan bisa ditafsir politis yang macam-macam,” kata Fickar.
Sumber : tirto.id