BERITA-VIRAL.COM - Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli kembali menyoroti soal utang negara. Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan melalui akun Twitternya yang diunggah pada Jumat (6/4/2018).
Rizal Ramli mengatakan jika saat ini utang negara sudah memasuki ‘lampu kuning’ atau harus diwaspadai. Tak hanya itu, mantan menteri keuangan ini juga menyebut jika utang negara Indonesia bak tutup lubang dan gali jurang.
Sebagai indikator, Rizal Ramli membahas mengenai keseimbangan primer (primery balance) yang negatif. Itu artinya sebagian buang utang dibayar tidak dari pendapatan negara, melainkan dari utang yang baru.
Rizal Ramli juga mengungkapkan apabila Debt Service Ratio (DSR) terhadap kinerja ekspor juga ikut andil dalam membuat utang luar negeri kurang produktif. Menurut Rizal Ramli, DSR itu sudah menyentuh angka 39 persen.
Sedangkan tax ratio hanya berada pada kisaran 10 persen. Rizal Ramli menyatakan jika hal itu dipengaruhi oleh pengelolaan fiskal yang ugal-ugalan oleh pemerintah.
Rupiah semakin anjlok menurut Rizal juga dikarenakan oleh current account yang semuanya negatif.
@RamliRizal: Masih ada saja yg tanya soal utang. “Sudah lampu kuning” sudah “Gali Lubang Tutup Jurang” karena primary balance negatif, debt service ratio sudah 39%, tax ratio hanya 10%an karena pengelolaan fiskal tidak prudent (ugal2an) current account dll negatif.
Diketahui, berikut daftar utang luar negeri Indonesia dari waktu ke waktu, sejak era Soeharto.
Soeharto (Rp 551,4 triliun dengan rasio utang 57,7 persen) tahun 1998.
BJ Habibie (Rp 938,8 triliun dengan rasio utang 85,5 persen) tahun 1999.
Gus Dur (Rp 1.491 triliun dengan rasio utang 77,2 persen) tahun 2001.
Megawati (Rp 1.298 triliun dengan rasio utang 56,6 persen) tahun 2004.
SBY (Rp 2.608,8 dengan rasio utang 24,7 persen) tahun 2014.
Jokowi (Rp 4.777,24 triliun dengan rasio utang 34 persen) tahun 2017.
Sementara itu, tingginya angka utang tersebut membuat sejumlah pihak bertanya-tanya, apakah jumlah tersebut mengancam stabilitas ekonomi negara saat ini?
Menanggapi hal itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan jika utang tidak akan mengancam stabilitas Indonesia. Menurut Kemenkeu, rasio utang Indonesia per Februari 2018 29,2 persen dari PDB.
Hal itu menunjukkan apabila jumlah utang tersebut masih dalam batas aman, yang diperbolehkan UU No. 17 Tahun 2003 sebesar 60 persen dari PDB.
Kemenkeu juga mengungkapkan jika tiga lembaga pemeringkat di dunia Fitch, S&P dan Moody’s menilai bahwa perekonomian Indonesia saat ini sehat.
Diketahui, utang tersebut berdasarkan undang-undang masih tergolong dalam batas wajar.
Dalam Pasal 12 ayat 3 UU No 17 Tahun 2003 tetang Keuangan Negara menyebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal sebesar 3% dan utang maksimal 60% dari PDB.
Meski masih wajar, utang yang menumpuk memmbuat Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Riza Annisa Pujarama angkat bicara.
Hal itu karena suku bunga utang pemerintah lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Dikutip Kontan, menurutnya, tingkat beban pembayaran utang sudah sangat tinggi.
“Namun, suku bunga utang pemerintah lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat beban pembayaran kewajiban utang sudah sangat tinggi.
Konsekuensinya justru semakin menggaruk kemampuan ruang fiskal pemerintah guna mendorong stimulus fiskal. Apalagi jika tax ratio justru semakin menurun,” kata Riza.
Sumber : tribunnews.com