Mendung tebal pagi ini di perbukitan Kecamatan Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta.
Hawanya sangat sejuk karena awan turun menyelimuti perbukitan itu.
Pada sebuah jalan menurun dengan aspal mulus yang membelah bukit, melintas cepat seorang pria setengah baya mengemudi sepeda ontel berwarna hijau pudar.
Tubuhnya kecil, kulitnya sawo matang, wajahnya berkeriput dalam, dan kaki mengenakan sandal jepit usang.
Hernowo (60), warga Dusun Anjir, Desa Hargorejo di Kokap, ini membiarkan roda sepedanya menggelinding begitu rupa mengikuti kontur menurun bukit.
Ia hanya menjaga keseimbangan agar dua orang di belakangnya tidak oleng lantas terjatuh.
Duduk paling belakang adalah Kamilah (61), wanita yang dinikahi 21 tahun lalu.
Perempuan berkerudung ini duduk di boncengan sambil memanggul tas sekolah.
Ia sesekali melambai-lambaikan tangan untuk memberi tanda pada para pengendara dan pengguna jalan lain ketika Hernowo hendak berbelok ke kanan atau ke kiri.
Hernowo tidak hanya membonceng Kamilah.
Seorang lagi, Wahyu Heri Setiyawan, seorang bocah berseragam batik dengan corak Geblek Renteng putih merah dengan pandangan kosong dan mulutnya setengah terbuka.
Bocah berumur 13 tahun itu duduk diapit keduanya.
Hernowo, Kamilah, dan Wahyu sedang dalam perjalanan menuju ke Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 di Kecamatan Panjatan, Selasa pagi ini.
Sepanjang jalan mereka lebih banyak diam.
Kamilah dan Wahyu mempercayakan perjalanan itu pada Hernowo yang bertubuh kecil.
Termasuk memilih jalan, simpangan, bahkan rel kereta api mana yang mesti dilewati.
“Liwat teteg wetan. Sanes teteg kulon. Sing kulon rame. (Bahasa Jawa: lewat palang pintu KA sebelah timur, bukan barat. Sebelah barat ramai). Wetan boten (Timur tidak) menanjak. Kalau sepi bisa langsung, mboten nuntun (tidak dituntun),” kata Kamilah.
Mereka keluar pagi sekali pukul 06.30 WIB dari rumahnya di Dusun Anjir, bersepeda, dan seperti biasa, Wahyu mesti masuk kelas sebelum pukul 08.00 WIB.
Ia akan bergabung dengan 5 temannya di kelas 5C di SLB itu sampai lewat tengah hari.
Semua siswa di kelas ini adalah penderita down syndrome (DS) atau keterbelakangan mental.
Dari rumah di sebuah bukit di Kulon Progo, mengayuh sepeda hingga ke SLB dilakoni Hernowo dan Kamilah agar Wahyu bisa sekolah hari Senin-Jumat.
SLB di Desa Gotakan, Panjatan, itu sebenarnya hanya 11-an kilometer dari Anjir.
Meski jarak tak jauh, Hernowo mengayuh sepeda hampir 60 menit dengan sepeda ontel.
Perjalanan selama itu karena kontur jalan dan keramaian kota yang dilewati.
Wahyu adalah anak semata wayang dari Hernowo dan Kamilah.
Warga mengenalnya sebagai pasangan suami istri penjual kayu bakar.
Hernowo biasa mencari dan memotong kayu, Kamilah mengikatnya setelah mengeringkan dengan cara diangin-angin.
Kayu itu dijual Rp 6.000 per ikat pada seorang pengepul.
Penghasilan dari kayu ini minim.
Kayu belum tentu terjual tiap minggu.
Mereka masih beruntung dapat Rp 100.000 setiap bulan dari kebun berisi 13 pohon kelapa di pekarangan belakang rumah.
Ada saja orang yang menebas (membeli) kelapa langsung di pohon.
Kambing peliharaan juga bisa jadi andalan ketika beranak.
Anak kambing harganya lumayan, sekitar Rp 700.000 ketika dijual.
“Kayu untilan (ikat) ditumpuk di depan. Belum tentu terjual sesasi (tiap minggu). Tambahan dari jual daun pisang dan daun pepaya, sesasi gangsal welas ewu (seminggu Rp 15.000), dikasih ke Desa Gunung Pentul,” kata Kamilah.
Mereka mengakui tidak bekerja lebih baik dari pada hari ini.
Keduanya hanya mengenyam pendidikan sampai SD, tanpa keterampilan memadai.
Kamilah pernah jadi kuli batu, Hernowo pernah jadi tukang cuci piring di warung makan.
Setelah memiliki anak, Hernowo masih sulit mendapatkan pekerjaan yang cukup layak lantaran fungsi pendengarannya kurang baik.
Orang harus bersuara sangat nyaring bila ingin komunikasi dengannya.
“Sebelum Wahyu sekolah, bapak kerja di warung asah-asah (mencuci piring). Upah Rp 20.000 sehari,” kata Kamilah.
Mereka tetap mensyukuri kehidupan ini.
Soal makan, semua sudah disediakan alam.
Sayur dan buah, kelapa tua untuk santan, dan beberapa rempah tersedia di halaman rumah.
Pepaya, pohon pisang, dan singkong bisa jadi selingan.
Setidaknya mereka jadi bisa beli beras, telur, mi instan.
“Wahyu suka sekali endog (telur). Kami bisa ambil jantung pisang untuk bikin jangan (sayur),” katanya.
Semua dijalani di sebuah rumah berdinding anyaman bambu dan kayu.
Lantainya masih tanah, dan kayu penyangga rumah masih baru.
Tidak ada sofa empuk, tidak ada kipas angin dan televisi.
Hanya ada penerangan, itupun minim.
Semua barang di dalam rumah merupakan harta turunan dari kakek buyut Hernowo.
Ruang utama rumah jadi satu semuanya di ruang depan, baik untuk tamu hingga tidur.
Halaman rumah mereka luas, bersih, bahkan tebing di kanan kirinya nyaris tanpa rumput dan lumut.
Pohon-pohon pepaya tumbuh tinggi di depan rumah.
Ini berkat Kamilah yang rajin bersih-bersih dan merawat halaman.
“Kalau bapak ini mencari rumput untuk kambing sampai jauh ke Glagah (10-an kilometer). Dia maunya nyari rumput tok,” katanya.
Rumah tinggal Hernowo berada di balik hutan mungil yang berasa mistis dan tanpa jalan masuk memadai ke dalamnya.
Tempat tinggal mereka di antara tebing tempat banyak pohon bambu tumbuh di sekelilingnya.
Yakni jati, nangka, dan akasia.
Gemericik air sungai terdengar sampai rumah.
Bila berangkat sekolah, ketiganya harus melewati hutan mini ini.
Jalan berbatu dan tanah gembur membuat mereka tidak mungkin menaiki sepeda di dalam hutan mini ini.
Mereka menuntun sepeda hingga jalan raya paling atas.
Dari situ, mereka mulai menaiki sepeda dan melaju sampai ketemu jalan datar.
Tapi sesekali, ketika tanjakan, Hernowo dan Kamilah terpaksa mendorong sepeda.
Ketika jalan menurun landai ataupun datar, mereka menaikinya.
Baru tahu DS
Wahyu lahir 8 tahun setelah pernikahan Hernowo dan Kamilah.
Keduanya sudah berumur 40 tahun ketika itu.
Mereka tak menyangka Wahyu tumbuh dengan keterbelakangan mental (down syndrome).
Anak semata wayang ini tumbuh dengan suka sekali berlari tanpa henti sepanjang hari, tidak bisa menerima perintah dan peringatan.
Ia sulit bicara.
Hernowo dan Kamilah kerap menemukan Wahyu memiring kepala ke samping, tatapan mata selalu kosong ke atas, mimik mukanya datar, dan tak bisa menyampaikan keinginan lewat kata-kata.
Mereka belum curiga apapun sampai waktunya sekolah TK.
“Bocah iki melet-melet mangan ilat (menjulur-julurkan lidah dan makan lidah),” kata Kamilah.
Semakin usia bertambah, Wahyu makin sulit dikontrol.
Emosinya tidak terkendali.
Perjalanan hidup Wahyu bikin berantakan.
Semua barang sering dihambur begitu rupa.
Kamilah jadi kerap tak sabar.
Memasuki usia 5 tahun, Hernowo dan Kamilah memasukkannya ke PAUD dengan harapan ada kemajuan bagi Wahyu.
“Baru tahu (DS) waktu dimasukkan ke TK. Bu (Guru) Sumiati bilang Wahyu harus masuk ke SLB ini,” kata Kamilah.
Hancur hati Hernowo dan Kamilah saat itu.
Tetapi, mereka cepat pulih dari kecewa.
Mereka memutuskan untuk menyekolahkan Wahyu.
Ia mengakui, Sumiati, guru PAUD itu, yang menguatkan hati mereka, mendorong dan memotivasi mereka demi hidup Wahyu di masa depan.
Mereka memasukkannya ke SLB Pengasih, awalnya.
Kemudian, ketika usia 7 tahun, Wahyu pindah ke SLB di Panjatan, 11 kilometer dari rumah mereka.
Wahyu yang belum bisa mengendalikan diri membuat Hernowo dan Kamilah terpaksa harus selalu mengantarkannya ke sekolah.
Hernowo merelakan diri kehilangan Rp 20.000 per hari dari hasil mencuci piring di warung makan demi mengantar Wahyu sekolah.
Penghasilan minim membuat mereka tidak punya uang untuk membeli sepeda motor.
Ongkos naik angkutan umum pulang dan pergi juga dirasa berat.
Mereka terpaksa naik sepeda ontel yang biasa dipakai mencari rumput untuk kambing peliharaan di rumah.
Sepeda itu yang penting cukup kokoh untuk dibonceng dua orang.
Sepeda ontel ini berjasa sepanjang 5 tahun belakangan.
Kaki kecil Hernowo mengayuhnya setiap hari belasan kilometer dari Anjir hingga Panjatan.
Tekad keduanya seperti baja. Kuat.
Sekalipun tidak bisa mengelak kalau telat karena jarak yang jauh dan cuaca, atau karena mereka sakit.
Tapi bisa dikata Wahyu adalah siswa yang paling rajin sekolah.
“Wahyu ini anak yang aktif, hampir tidak pernah tidak masuk sekolah. Rajin sekolah,” kata Erlia Fatmasari Hadi, wali kelas 5C.
Kelas 5C berisi 6 siswa DS.
Meski harus melewati waktu sangat lama, Wahyu mulai menampakkan perubahan.
Ia menunjukkan kemampuan sosialisasi lumayan baik, berteman dengan semua orang, bermain dengan sebayanya, pandai bersepeda, tapi dalam komunikasi ia masih banyak diam.
Erlia mengatakan, di umur 13 tahun ini ia mulai bisa menebalkan gambar, menghubungkan titik dengan titik, mencontoh huruf, hingga mewarnai dengan pastel.
Yang terbaru, kata Erlia, Wahyu mulai bisa makan bekal sendiri pakai sendok.
Erlia mengenang dulunya Wahyu suka jalan keliling kelas dan susah menuruti perintah.
Lima tahun belakangan, tingkah hiperaktifnya berkurang.
“Baru tahun ini sama saya, sekarang dia sudah mau duduk,” kata Erlia.
Salah satu kemajuan yang dirasa Kamilah adalah Wahyu mulai betah di rumah.
“Dulu suka hilang-hilang. Bahkan ketika subuh bangun tidur, bocah iki (ini) sudah hilang menerobos gedhek. Delok-delok ilang delok-delok ilang (sebentar-sebentar hilang). Kulo panik padosi teng kedung malah ketemu ning gunung (saya panggil-panggil di kolam sungai malah ketemu di gunung),” katanya.
Perjalanan bagi Wahyu sejatinya masih panjang.
Masih banyak yang harus diajarkan karena banyak kemampuan yang belum bisa dilakukan di usainya yang menjelang remaja.
“Pakai baju sendiri belum bisa. Memasang kancing masih belum bisa. Menali sepatu juga belum bisa,” katanya.
Kamilah mengaku, menyekolahkan Wahyu merupakan keputusan tepat.
Dengan usia mereka yang sudah menjelang senja, tentu sulit bagi Wahyu kalau masih terus bergantung pada keduanya yang hidup tidak sejahtera.
Anak ini, bagi Kamilah, adalah karunia terbesar di hidup mereka, mengingat dua kali keguguran sebelum Wahyu lahir.
Kondisi terbelakang mental tentu akan menyulitkan hidupnya di masa depan.
Kamilah pun ingin Wahyu suatu hari lebih percaya diri, tidak mudah dibohongi, bisa belanja sendiri, menghitung uang dengan benar, membaca petunjuk dan arah dengan benar, meski tidak bisa yang serba rumit.
“Piye tho anak kulo niku nek kulo boten (bagaimana anak saya itu kalau saya tidak) semangat. Piye nek ora disekolahke (bagaimana kalau tidak disekolahkan) Ben suk (biar besok) kami mati nanti, dia masih bisa mandiri,” kata Kamilah.
Pekerjaan sederhana Wakil Kepala SLBN1, Legima mengatakan, sebagian besar siswa sekolah di SLB ini adalah anak dengan kecacatan tunagrahita (down syndrome), seperti Wahyu.
Kecacatan seperti ini terbagi atas ringan, sedang, dan berat, yang masing-masing berbeda cara penanganan.
Wahyu tergolong sedang.
Rata-rata mereka memiliki IQ di bawah 70, itulah mengapa mereka sulit menerima perintah dan pengarahan.
Mereka memang menghadapi kesulitan untuk berkembang di masa depan.
Namun, sekolah merupakan tempat yang tepat untuk memberi peluang bagi mereka mewujudkan masa depan yang lebih baik.
Legima mengatakan, anak-anak dengan kecacatan seperti ini mesti belajar melakukan pekerjaan sederhana. Sebab, untuk bisa memiliki sebuah kecakapan saja penderita memerlukan waktu bertahun-tahun.
Mengajar pun jadi harus ekstra sabar.
“Balajarnya menitik beratkan pada bina diri yang membuat anak bisa menolong dan merawat diri.
Anak bisa mandiri mengerjakan keterampilan sederhana yang tidak perlu pemikiran rumit,” kata Legima.
Di sekolah, mereka belajar aktivitas sehari-hari seperti bagaimana memakai baju, mengenakan sepatu, bagaimana menghadapi kebakaran, menghadapi banjir dan kolam, bagaimana memegang sendok sendiri, bagaimana menyeterika, hingga bagaimana berada di depan umum.
"Untuk perempuan bagaimana menangani mens, memakai pembalut, membersihkan, mencuci, itu juga bagian dari mata pelajaran," katanya.
Setiap anak memiliki kemampuan masing-masing.
Pengajarannya pun tidak mengikuti kurikulum pada umumnya.
"Kita menekankan kemampuan betul-betul untuk tiap anak. Sehingga kalau lulus SMA nanti punya skill," katanya.
Tidak ada yang tidak mungkin bagi penderita tunagrahita untuk memiliki masa depan dengan kecakapan sederhana itu.
"Misal seperti bikin batako. Bukan meramu obat. Misal, (bukan) menyemprot lahan sekian hektar dengan batas tertentu, tapi kalau mencangkul bisa," kata Legima.
Dengan latihan di sekolah, maka anak memiliki peluang tidak seutuhnya bergantung pada orang tua di hari depan.
Apalagi, dengan kondisi orang tua seperti Hernowo dan Kamilah.
Bagi Legima, Hernowo dan Kamilah telah menunjukkan semangat yang mengagumkan.
Meski dalam kesulitan hidup, mereka tetap mau menyekolahkan Wahyu dengan serius.
Sedikit orang yang seperti mereka.
Ada saja yang minim perhatian orangtua, bahkan dititipkan dalam asrama.
Berbeda dengan Hernowo dan Kamilah, pasutri penjual kayu bakar ini.
Mereka mencontohkan pengharapan bahwa keluarga marjinal yang melahirkan generasi marjinal, tidak boleh menyerah menjadi marjinal suatu hari di masa depan.