Banyaknya pohon jeruk kalamansi di Bengkulu ternyata mampu memberikan berkah tersendiri. Dulu, buah jeruk kalamansi belum ada nilai ekonomisnya. Paling buahnya hanya digunakan untuk membersihkan ikan atau membuat sambal. Sampai kemudian di akhir 2001, Emiyati mencoba membuat sirop dari buah jeruk kalamansi.
Kebetulan lembaga pertanian tempat suaminya bekerja memberi pelatihan mengenai pembuatan sirop dari jeruk kalamansi ini. Dari situlah, Emi terpacu memberikan nilai tambah pada buah jeruk ini dan mulai memproduksi sirop. Kendalanya, orang Bengkulu sendiri belum banyak yang mengenal jeruk kalamansi. Belum lagi ketika itu kemasannya yang mirip minyak goreng curah. Emi hanya bermodal Rp 250.000 untuk membeli gula dan jeruk. Awalnya, sekali masak ia hanya membuat dua liter saja. Jelas, itu membuatnya rugi.
Namun, Emi tidak menyerah. Dia merasa yakin jika suatu saat nanti sirop ini pasti bisa disukai, karena rasanya enak. Satu per satu produsen sirop yang mengikuti pelatihan memilih untuk mundur dan menutup usaha. Tapi Emi tetap memilih lanjut, walau ia pernah membuang tiga jeriken sirop,-satu jeriken berisi 35 liter, karena memang tidak laku dan sudah rusak.
Tahun 2004, dengan modal seadanya ditambah uang pinjaman dari keluarga, terbelilah botol plastik untuk menjadi kemasan sirop. Tahun 2010, sirop kalamansi baru booming. Jumlah pesanan terus meningkat sedikit demi sedikit. Emi bahkan juga sempat mengirim ke beberapa daerah di luar Bengkulu. Misalnya, Jakarta, Palembang, Jambi, Lampung, Medan, Bogor, dan lain-lain. Kini, Emi bisa menghasilkan sirop jeruk kalamansi sebanyak 150 liter per minggu.
Sirop jeruk kalamansi buatan Emiyati yang berwarna keemasan seperti madu ini dibuat dari gula pasir asli. Manis dan asam dari jeruk, serta wangi jeruk kalamansi yang kuat memberi kesegaran pada setiap gelasnya. Dalam perkembangan usahanya, selain memproduksi sirop, kini Emiyati juga memproduksi minuman jeruk kalamansi siap minum.