TONGSENG : Hidangan Berbahan Kambing Yang Fleksibel.


Tongseng adalah salah satu hidangan berbahan daging kambing yang populer saat makan di luar. Tongseng mempunyai riwayat hidup yang panjang. Berawal dari kebiasaan menyantap daging kambing yang dibawa para pedagang Arab dan India ke Indonesia pada abad 18 dan 19. Hadirnya orang-orang Arab dan India di Tanah Air memunculkan daerah-daerah yang dihuni oleh mereka di banyak tempat di nusantara, utamanya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Akulturasi budaya pun terjadi, juga budaya kuliner mereka, dengan budaya setempat.
Warga lokal pun mulai mengolah masakan kambing. Hidangan daging kambing tahap awal adalah sate kambing. Cara penyiapan dan penyajiannya khas nusantara. Kekhasan itu terletak pada penggunaan kecap manis. Sate nusantara biasanya hanya menggunakan daging atau hati. Sisanya jeroan dan tulang dimasak dengan rempah-rempah dan santan. Karena itu, masakan berikutnya adalah gulai kambing. Tak mengherankan jika kini di tempat penjualan sate selalu dijual pula gulai kambing. Setelah sate dan gulai kemudian masyarakat di selatan Jawa mulai meracik menu baru. Saat itu pabrik gula pasir dan gula merah tradisional mulai beroperasi dan pabrik kecap manis mulai berproduksi. Terciptalah sebuah hidangan yang dibuat dengan cara mengoseng daging kambing bersama kecap, aneka bumbu iris, dan memasaknya dengan kuah gulai. Untuk menambah tekstur dan kesegaran, diberi irisan tomat dan kubis. Hidangan ini kemudian dikenal dengan nama tongseng.


Cikal bakal hidangan tongseng dipercaya berasal dari Kecamatan Klego, Boyolali. Dulunya, masyarakat kecamatan Klego mencari nafkah dengan bertani. Tetapi, ternyata mata pencaharian ini belum dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka. Akhirnya mereka beralih profesi ke menjual sate dan tongseng sampai sekarang. Bahkan, kita bisa menemukan patung sate tongseng yang menunjukkan kebanggaan masyarakat Klego pada hidangan berbahan kambing ini. Tongseng merupakan hidangan yang sangat fleksibel. Masakan ini dapat menggunakan berbagai bagian kambing, mulai dari daging, jeroan, tulang, buntut, dan lain-lainnya. Ada dua metode memasak tongseng. Cara pertama adalah dengan membuat gulai dengan membubuhkan bumbu yang dihaluskan. Cara kedua dengan menumis. Yakni, semua bumbu dimasukkan dengan potongan daging mentah. Kedua cara ini menunjukkan betapa membuat tongseng amatlah mudah dan cepat. Dalam waktu sepuluh menit pun sudah bisa dihidangkan. 

Tongseng pun tak harus berbahan dasar daging kambing. Banyak juga orang yang memasak tongseng daging sapi, bahkan pernah pula ditemukan tongseng ayam kampung, kelinci, bahkan jamur. Persebaran tongseng diikuti dengan keragaman bumbu dan penyajian yang sedikit dimodifikasi, tetapi tetap berakar pada cita rasa autentik. Namun, di tengah keragaman tersebut, kecap tetap menjadi salah satu bahan kunci yang memantapkan rasa manis dan gurih hidangan tongseng kambing nusantara. Konsep tongseng adalah keseimbangan. Penyeimbang bumbu beraroma dan cita rasa kuat itu adalah kecap manis. Kecap juga memberi rasa legit dari kuah aroma kambing yang khas. Lalu, lalapan kol, timun, tomat, dan bawang merah bersifat 'mendinginkan' daging kambing yang 'panas'.


Kini, banyak rumah makan menjual tongseng dengan aneka modifikasi itu. Tongseng super pedas adalah andalan Tongseng Petir Pak Nano di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Sutiyarno, sang pemilik, memulai usahanya sejak 1984. Tongseng buatannya memiliki rasa pedas yang menggelegar karena penggunaan cabai rawit yang royal. Tongseng berkuah buatan lelaki kelahiran tahun 1947 ini sejatinya adalah tongseng klasik. Tetapi, modifikasinya hanya pada tingkat kepedasan. Banyak orang yang tertarik menjajal tongseng pedasnya yang dipercaya berkhasiat, bisa menghilangkan masuk angin. Bagai tingkat pendidikan, rasa pedas tongseng buatan Sutiyarno pun bertingkat. Ada level PAUD yang tak pedas, play group, TK, SD, SMP, SMA, D-3, dan seterusnya hingga yang tertinggi 'profesor'. Berbagai tingkatan ini tak pelak menyentil urat penasaran mereka yang datang untuk mencicipi masakan berbahan dasar daging kambing ini. Tentu saja, bila tak terbiasa makan cita rasa terlalu pedas, bisa membuat sakit perut. Untuk rasa pedas itu, Sutiyarno menyiapkan cabai rawit dan lada hitam. Ia menjelaskan, kunci menghadirkan rasa pedas adalah dengan mengiris cabai hingga bijinya.


Tongseng klasik diwakili oleh Tongseng Pondok Sate Kambing Muda Pejompongan, Jakarta. Kuah tongsengnya cair dan banyak. Usaha yang dijalankan oleh Pak Sukatni sejak tahun 1994 ini, merupakan salah satu pondok sate paling legendaris di Jakarta. Sukatni memperoleh keterampilan membuat tongseng dari tempat ia bekerja sebelumnya. Tongseng Sukatni menjadi menu yang difavoritkan karena dagingnya sangat empuk dan berbumbu.


Ada pula Tongseng Kicik Pak Jede, di Yogyakarta. Pembuatannya sangat mirip pembuatan tongseng pada umumnya. Tetapi, bila biasanya tongseng berkuah encer dan banyak, tongseng kicik dimasak hingga tampilannya nyemek-nyemek alias becek, mirip dengan baceman. Kuah tongseng diresapkan sepenuhnya sehingga meninggalkan sedikit cairan yang lebih mirip saus, kental, dan berbumbu. Tongseng kicik dibuat dengan masih menggunakan resep warisan sejak 1960-an. Kunci kelezatan tongseng tak lepas dari pembuatan kuah gulai. Tanpa kuah gulai yang enak, tongseng pun akan hambar. Para pelanggan menggemari tongseng kicik bagian paha, balungan, dan torpedo. Sementara untuk jeroan, menurut pengelolanya, kurang disukai.