SEGO KUCING : Tradisi Warisan Kuliner Untuk Masyarakat Kelas Bawah



Sejak beberapa tahun terakhir, nasi kucing mulai mengisi resto di Ibu Kota. Sejatinya nasi kucing itu dijual di gerobak-gerobak di Yogyakarta atau di Solo. Meski seporsinya tetap sekuran ‘nasi untuk kucing’, tapi harganya sudah berlipat kali dari tempat asalnya. Nasi kucing yang bahasa asalnya sego kucing memang mendapat namanya dari porsi yang dibuat. Sebuah porsi kecil bagaikan porsi nasi untuk makan kucing, lalu dibungkus dengan daun pisang. Selain itu, lauk di dalamnya pun sederhana, hanya secuil bandeng dan sambal. Lauk lainnya seperti telur, ayam, ikan, tempe, tahu, bisa ditambahkan dengan mengambilnya langsung dari si penjualnya, yakni warung angkringan di Yogyakarta, atau hik di Solo alias Surakarta.

Berdasarkan sejarah, ditemukan data tentang angkringan di Solo pada 1912 dalam Koran Jawi Hisworo. Sejak 1912, saat listrik masuk Solo, para urban kerap menikmati kehidupan di keramaian kota di malam hari. Maka, datanglah orang-orang pinggiran Solo yang menyediakan makanan murah meriah di malam hari. Terminologi ‘angkringan’ pun muncul pada tahun itu. Dalam berita di koran itu bahkan sempat dikisahkan, ada pencopet yang bersembunyi di dalam angkring, tempat menaruh makanan.


Sementara istilah nasi kucing muncul pada 1980-an. Ketika manusia sudah menerima makan seperti kucing dengan cukup secuil bandeng, dan sambal. Para pembeli sudah merasa nikmat dan cukup dengan menyantap hidangan khas ala kucing itu. Nasi yang sama di Yogyakarta pun serupa isinya. Begitu pula istilah angkringan yang digunakan di Yogyakarta dan hik di Surakarta. Keduanya sinonim. Namun ada sisi lain dari nasi kucing yang bisa dilihat. Yakni, maknanya dalam kacamata perempuan Jawa di meja makan. Bahwa wanita Jawa itu kala makan harus sopan, tidak menunjukkan lahapnya di depan publik. 

Harga nasi porsi hemat ini Rp 1.500-Rp 2.000-an sangat cocok dengan kantong mahasiswa. Tak heran bila nasi kucing menjadi populer di kalangan ekonomi ‘pas-pasan’, termasuk tukang becak hingga buruh di kota Yogyakarta dan Solo. Bila di kota-kota lain warung Tegal (warteg) atau mungkin juga nasi Padang, adalah harapan bagi mereka, maka di dua kota ini nasi kucing lah yang menjadi pilihan dan banyak tersedia di angkringan atau hik. Selain harganya yang terjangkau, juga menawarkan suasana yang santai.