Tak sedikit yang mengira Hartono menyediakan tengkleng dari daging gajah ketika membaca spanduk di depan warungnya di Bulurejo, Minomartani, Ngaglik, Sleman. Padahal, kata gajah hanya dipakai Hartono untuk menggambarkan besarnya ukuran tengkleng yang disajikan per porsinya. Ketika hendak memulai bisnisnya pada Februari 2007 silam, Hartono, yang memang penggemar tengkleng ini, berpikir harus ada perbedaan dari tengkleng yang dijual di tempat lainnya. Oleh karena itu, ia memutuskan memberi ciri khas berupa ukurannya yang super besar sehingga diibaratkan seperti gajah. Nama ini juga ia maksudkan untuk menarik minat anak-anak, karena biasanya menu tengkleng dan sate tidak mereka gemari. Pun, kalau ia hanya menulis tengkleng saja atau tengkleng jumbo, juga kurang menarik dan dianggap orang biasa saja. Sejak awal, Hartono memang sudah mengarah pada porsi yang besar dan daging yang menempel di tulang masih banyak.
Sebab, selama ini tengkleng yang banyak dijual orang, bahkan di Solo yang menjadi daerah asal Hartono, porsinya kurang mantap. Maka, Hartono mantap membuka warung tengkleng yang beda ini dengan modal Rp 60 juta. Ternyata, di kemudian hari, banyak orang mengira ia menjual daging gajah sungguhan. Sehingga, saat pertama warung dibuka, tak sedikit yang sudah masuk warung keluar lagi tanpa memesan. Namun, setelah tahu bahwa tengkleng gajah hanya sebuah nama untuk masakan berbahan dasar kambing, lambat laun banyak yang suka. Hartono mengaku ia tak punya banyak persiapan untuk membuka warungnya. Bisa dibilang ia cukup nekat karena tak berpikir lama ketika pertama kali memutuskan berjualan tengkleng.
Ia merekrut orang dan tidak harus pintar memasak. Ia cukup meminta memasak tengkleng sebisanya, lalu ia yang menilai. Setelah dijual, saran dari pembeli ia perhatikan sehingga akhirnya didapat resep yang benar-benar pas. Hartono pun banyak mengajak orang yang menganggur untuk ikut kerja padanya. Entah nanti usahanya menjadi seperti apa, yang penting orang itu tetap mau bekerja, hingga bisa terus mendapatkan uang. Awalnya warung Hartono hanya memiliki enam bangku.
Hartono bercerita, pada tahun-tahun sebelum membuka warung tengkleng, ia sering menjamu teman-temannya di rumah dengan menu sate saat Idul Adha. Bila mendapat kiriman daging kambing kurban 1-2 kg, ia akan membeli daging kambing lagi sebagai tambahan. Lalu daging itu ia campur dan potong kecil-kecil untuk dibuat sate. Jadi, satu orang bisa makan banyak sekali. Pria yang mengaku bahwa sebenarnya tak bisa memasak tengkleng, gulai, maupun tongseng kambing ini hanya mengolah daging kambing ala kadarnya dengan cara dicelup bumbu dan dibakar.
Rupanya, keseriusan Hartono dalam mengelola warung termasuk menyajikan tengkleng dalam porsi yang mantap membuat warungnya berkembang dalam waktu singkat. Pembeli tak henti-henti datang ke warungnya, sampai-sampai ia dan para pegawainya sempat kewalahan meski sudah menambah pegawai beberapa kali. Sayang, usaha Hartono sempat mendapat cobaan saat datangnya krisis moneter global pada 2009. Imbasnya, warungnya sepi. Kalau sebelumnya pukul 21.00 saja masih ramai, saat krismon terpaksa tutup pukul 16.00-17.00. Karena kalau dibuka sampai pukul 19.00, sudah tidak ada orang yang datang. Selama dua tahun Hartono mengalami kondisi seperti itu, sampai ia sempat berniat menutup warungnya. Meski gaji pegawai tak pernah telat dibayarkan, tapi pembayaran kambing sempat tersendat.
Namun, pria asal Purbalingga ini pun sangat bersyukur, sang istri yang seorang karyawati swasta sangat mendukung usahanya dan memintanya terus bertahan. Sang istri yakin kelak suatu saat nanti akan ada perubahan, meski saat itu Hartono sudah nyaris putus asa karena uang yang dimiliki makin minus. Padahal sebelumnya, Hartono sudah terlanjur melepas usaha barang rongsoknya agar bisa fokus di bisnis warung ini. Setiap malam, ia dan istrinya yang membantu pembukuan warung berdiskusi tentang warungnya untuk mendapatkan solusi terbaik. Dan benar kata istrinya, pada 2011 warungnya bangkit kembali, justru saat ia dan istrinya sudah pasrah. Sejak itu, warungnya makin laris dan terkenal, bahkan melebihi sebelumnya. Tak kurang dari para menteri ikut datang sebagai pembeli di warung yang kini memiliki 18 pegawai ini. Hartono menjelaskan, berapa pun uang yang harus dikeluarkan untuk memberikan kualitas terbaik untuk pembeli, akan ia lakukan. Jadi, bukan sekedar besarnya keuntungan yang ia cari.
Hartono sendiri sangat memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Selain gaji bulanan, pada tengah bulan biasanya ia juga membagikan uang, belum lagi bonus tambahan bila warungnya ramai. Ada lagi arisan pegawai yang uangnya diambil dari kas warung dan setiap bulan diundi. Kini, setiap hari Tengkleng Gajah menghabiskan 80 kg daging kambing dan 100 kg tulang untuk tengkleng. Saat hari libur, warung yang mampu menampung 150-an pengunjung ini menjual lebih banyak lagi tengkleng. Tengkleng, tongseng, dan sate goreng menjadi menu favorit di warung yang buka mulai pukul 09.00 sampai malam ini. Seporsi tengkleng gajah atau sate goreng harganya Rp 30.000. Kini, Hartono tengah menyiapkan cabang baru, karena banyak yang menyarankan untuk membuka warungnya di Jakarta.
Tengkleng Gajah Yogyakarta
Jalan Kaliurang Km. 9,3 Bulurejo, Minomartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta
Telp: (0274) 882512
Telp: (0274) 882512