RESTORAN ASIA - WONOSOBO. Bertahan Sejak 1930, Dengan Masakan Khas Canton


Restoran yang satu ini terletak di Jalan Angkatan 45 No 35 Wonosobo. Meski terlihat, kecil dari luar, restoran ini bagian dalamnya ternyata luas dan memanjang ke belakang. Menyajikan menu khas oriental, restoran ini sering jadi tujuan para pejabat dan wisatawan, terutama wisatawan mancanegara yang sedang berkunjung ke Wonosobo. Tak jarang, wisman tersebut datang berombongan dengan bus ke restoran yang ikut disebut dalam buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie ini. Restoran Asia memang sudah bekerja sama dengan beberapa agen perjalanan. Sehingga, wisatawan yang umumnya turis Eropa biasanya diajak bersantap di sini. Mereka menganggap restoran ini salah satu ikon kota Wonosobo. Tak sedikit pula para wisman yang datang ke sini atas rekomendasi kakeknya, yang pada zaman Belanda dulu pernah makan di tempat ini. 

Terkadang, para wisman datang sambil membawa bungkus sendok garpu dari kertas bertuliskan Restoran Asia, untuk dicocokkan dengan yang ada di restoran. Mereka mendapatkannya dari temannya atau kakeknya. Maklum saja, Restoran Asia memang sudah lama berdiri di Wonosobo, yaitu sejak 1930. Pendirinya, Tam Hong, merupakan pria asli Tiongkok yang kemudian merantau ke Indonesia dan menjadi koki di kapal Tjitjalengka, kapal pesiar dengan tujuan China dan Jepang. Setelah beberapa tahun bekerja di sana, Tam Hong menetap di Wonosobo bersama istrinya dan menyewa toko yang sekarang menjadi restoran. Mulanya, istri Tam Hong hanya menjual makanan kering dan barang-barang antik di toko mereka yang bernama Kien Hing, sambil sesekali menjual masakan bila ada pesanan. Karena makin banyak pesanan, akhirnya beberapa bulan kemudian Tam Hong membuka restoran kecil dan Kien Hing berubah nama menjadi restoran Canton. Sesuai namanya, restoran ini menjual masakan khas Canton.

Mulanya, restoran ini hanya mampu menampung delapan meja. Pedagang yang datang ke Wonosobo, tentara Belanda dan Jepang yang ada di kota itu seringkali berkunjung ke restoran. Menurut cerita, karena dulu belum ada kulkas, penyimpanan bahan ayam masih dengan cara digantung lalu diasap agar awet. Setelah Tam Hong tiada, restoran diteruskan oleh Tang Jin Khan yang seorang koki dan istrinya, Tam Jai Ling.  Lalu setelah Tang Jing Khan meninggal, usaha kembali diteruskan oleh salah satu putranya, Tatang Harijanto, dibantu oleh istrinya Valentina Sutini. Tahun 1980, restoran berganti nama menjadi Asia.

Menurut Valentina Sutini, atau akrab disapa Tini, setelah menikah, ia memang banyak belajar memasak dari suaminya. Setelah itu ia yang dipercaya untuk lebih banyak memegang tugas memasak dan terjun di dapur restoran. Sementara, suaminya fokus pada pembangunan Hotel Surya Asia, yang letaknya tak jauh dari restoran. Namun, pada 2006, suami Tini meninggal. Praktis, Tini yang kemudian mengelola sendiri restoran dan hotel. Selama setahun pertama, tak sedikit yang meragukan kemampuannya memasak dan keaslian resepnya, sehingga banyak pelanggan terutama yang keturunan China tak mau datang kembali. Padahal, sejak suaminya masih hidup, ia yang bertahun-tahun memasak. Meski sedih luar biasa, tapi Tini tetap menekuni usahanya. Sampai akhirnya banyak pelanggan yang tadinya meninggalkan Restoran Asia, datang kembali setelah merasakan sendiri hasil masakan Tini. Setelah itu, restorannya kembali ramai. Tini pun kembali bersemangat. Tak sedikit pelanggan yang merayakan perjamuan bersama keluarga besarnya di Restoran Asia setelah acara lamaran atau kumpul keluarga saat Imlek dan Lebaran.
Valentina Sutini, generasi ketiga pengelola Restoran Asia
Tini sendiri yang notabene berdarah Jawa dan asli Bantul, kemudian menyesuaikan menu yang dijual menjadi menu halal, mengingat banyak juga pengunjung muslim yang datang. Tini sadar, Wonosobo merupakan kota kecil. Jadi, meskipun menjual masakan  Canton, ia harus bisa menyesuaikan dengan pengunjungnya, yang ada dari kalangan pegawai instansi, pengunjung berjilbab, dan sebagainya. Rasanya pun disesuaikan dengan lidah orang Indonesia. Tidak ada yang menggunakan minyak babi atau menu yang tidak halal. Selain itu, Tini juga menyesuaikan dengan perkembangan zaman, antara lain dengan menyediakan sapo tahu dari tahu sutera. Begitu pula dengan menu Cah Pucuk Daun Labu, yang dimasak tanpa santan dan terasa empuk saat dikunyah. Kedua menu ini dulunya tidak ada dalam daftar sajian restoran.

Tini mengaku, ia harus terus berinovasi dan menyesuaikan zaman agar restorannya tidak tergerus oleh restoran atau kuliner baru. Menurutnya, dulu banyak restoran yang menjual masakan China di Wonosobo. Namun, karena pemiliknya tidak telaten dalam menjalankan usahanya, banyak yang kemudian tutup. Karena pada dasarnya, Wonosobo bukanlah kota yang restorannya akan selalu penuh pengunjung, mengingat jumlah penduduknya yang juga tidak banyak. Maka kalau tidak telaten dan tidak menyukai berbisnis kuliner, bisa patah semangat saat tidak ada tamu yang datang. Di Restoran Asia Sendiri, turis asing biasanya baru ramai berkunjung mulai bulan Juni hingga Oktober.

Dalam melayani pengunjung, Tini yang menganggap karyawannya sudah seperti anak sendiri ini, tak mau main-main. Ia sengaja menerapkan cara kerja profesional di restoran yang buka pukul 09.00-15.30, lalu sore tutup sebentar, dan buka kembali pukul 17.30-21.00 tersebut. Semua masakan memiliki standar pembuatannya. Menggoreng ikan atau Lumpia Hongkong, misalnya, setelah warna kuningnya mencapai standarnya, baru boleh diangkat. Tini bersyukur, semua karyawannya sekarang sudah mahir. Ada atau tidak ada dirinya, mereka bisa memasak dengan standar yang sama dengan Tini. Selain itu, satu orang hanya memegang satu tugas. Yang bertugas mengiris bahan baku, tugasnya hanyalah itu. Demikian pula yang tugasnya memasak, hanya memasak saja. Dengan begitu, masakan cepat tersaji meski pesanan banyak dan pembeli tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan pesananannya. Padahal, semua bahan baru diiris dan dimasak ketika ada pesanan.

Tini yang kini memiliki 20 pegawai di restorannya ini, juga menjadikan karyawannya yang sudah tahunan bekerja sebagai aset. Ia mengajari para pelayannya untuk memadu padankan menu agar ketika pengunjung bertanya, mereka mampu memberikan beragam pilihan menu dengan rasa yang pas di lidah. Tentu pengalaman kuliner itu akan berkesan bagi pengunjung yang datang ke Restoran Asia. Mereka juga diajari untuk melayani pembeli dengan standar seperti layaknya restoran China berbintang lima.

Tini sendiri sampai sekarang tetap ikut terjun memasak di dapur. Tak hanya itu, ibu tiga anak yang semuanya sudah dewasa ini, juga rajin mendatangi pelanggan di meja untuk menyapa sekaligus meminta masukan. Menurut perempuan ramah ini, untung tidak besar tidak masalah. Karena ia memang bukan hanya mencari keuntungan saja, melainkan juga mencari pelanggan dan hubungan dekat dengan pelanggan agar mereka betah dan kembali lagi ke restorannya. Tini bahkan hafal makanan favorit pelanggannya yang berasal dari toko-toko sekitar restorannya.

Menu yang menjadi favorit di Restoran Asia antara lain Sup Canton yang terdiri dari tahu, jamur shitake kering, ayam, dan seafood. Menu Ayam Goreng Canton yang disantap bersama garam wangi, yaitu bumbu lima rempah, bahkan menurut Tini, tidak ditemui di restoran lain. Cah Pucuk Daun Labu, dan Gurame Asam Manis yang berkulit renyah juga jadi favorit pengunjung. Tini mematok harga mulai dari Rp 30.000-Rp 150.000. Tini, yang juga mengelola pemasaran hotel peninggalan suaminya ini mengakui, kelezatan masakan restorannya membuat banyak orang Wonosobo bernostalgia ke tempatnya setiap mudik. Tak sedikit pula yang mengajaknya bekerja sama membuka cabang baru di kota lain. Namun ia menolak.

Tini lebih memilih memberikan edukasi pada anak-anak di Wonosobo dengan membeli tanah di Desa Tambi untuk menanam sayur organik, agar mereka bisa memilih dan memasak sayur yang tepat. Di lahan itulah, Tini menanam secara organik sayuran yang akan digunakan sebagai bahan baku untuk restorannya. Untuk menu, Tini mengutamakan menggunakan bahan baku lokal, termasuk teh Tambi, kopi Wadas Lintang, dan kopi Kalikajar yang asli Wonosobo, terutama sejak tahun 2012. Bahkan untuk sayuran pun, Tini yang sudah sejak tahun 1984 tinggal di Wonosobo ini lebih memilih yang asal kota ini, kecuali seafood dan jamur jenis tertentu, seperti shitake yang didatangkan langsung dari Tiongkok.